Tulisan Asma Nadia tentang Tragedi Mina yang dimuat di Republika Online
(Sabtu, 26 September 2015) menuai banyak protes dari pembaca. Tulisan
berjudul “Karpet Merah Perenggut Nyawa” itu dinilai tendensius dan
penggiringan opini bahwa penyebab insiden yang mengakibatkan 717 jamaah
haji meninggal dunia itu adalah pemerintah Arab Saudi.
Asma Nadia mengutip “beberapa media” yang mengabarkan bahwa dipicu
iring-iringan pengamanan seorang pejabat kerajaan yang menghambat jalan.
Lalu ia menuliskan pengalamannya saat umrah yang terjadi desak-desakan
karena pintu Ka’bah dibuka karena kehadiran pejabat.
Berikut ini tulisan lengkap Asma Nadia seperti dirilis Republika Online:
Karpet Merah Perenggut Nyawa
Inna
lillahi wa inna ilaihi raji'un. Lebih dari 700 orang meninggal akibat
berdesakan dan terinjak-injak karena penumpukan jamaah di Mina. Jumlah
korban ini yang terbesar dalam 25 tahun terakhir, dan kedua terbesar
sesudah peristiwa terowongan al-Muaisim, Mina, 2 Juli 1990 yang menelan
1.426 nyawa. Peristiwa duka setelah 11 September lalu, sebuah crane
jatuh di kompleks Masjidil Haram. Kecelakaan yang mengakibatkan 107
orang meninggal dan sekitar 238 lainnya luka-luka.
Mungkin
hanya ucapan belasungkawa dan doa yang bisa kita sampaikan untuk para
korban di Mina dan Masjidil Haram, semoga Allah menjadikan mereka
sebagai syuhada. Tapi bagi pemerintah Kerajaan Arab Saudi, sepertinya
doa saja bukan pilihan tepat. Mereka harus melakukan evaluasi penuh
terhadap kejadian getir dalam rangkaian ibadah haji kali ini.
Terlebih,
sebagian besar peristiwa yang menelan banyak korban jiwa terjadi di
Mina dan saat pelaksanaan lempar jumrah. Padahal, insiden serupa sempat
terjadi bertahun lalu. Pada 23 Mei 1994, sebanyak 270 jamaah tewas di
Mina, juga ketika mereka melakukan lempar jumrah.
Menyusul
tiga periode haji berikutnya. Tercatat 343 jamaah tewas, sementara
1.500 lainnya terluka akibat kebakaran tenda di Mina 15 April 1997. Efek
kejadian tersebut, kini tenda para jamaah didesain agar tahan api.
Kecelakaan berikutnya merenggut nyawa 118 jamaah dan sekitar 180 lain
terluka dalam insiden di jembatan Jamarat untuk melempar jumrah pada 9
April 1998.
Rupanya
nilai merah masih menghiasi penyelenggara ibadah haji, terutama terkait
jumrah. Tanggal 5 Maret 2001 tercatat 35 korban. Berikutnya pada 1
Februari 2004, sebanyak 251 jamaah wafat dan 244 terluka akibat terkena
lemparan batu jamaah lain, selain terinjak-injak karena saling dorong
antarjamaah.
Sementara,
pada 12 Januari 2006, sebanyak 346 jamaah meninggal dunia dan 289
terluka saat melempar jumrah. Musibah lain menyusul ketika ratusan orang
yang baru tiba saling bertabrakan dengan jamaah lain di jembatan
Jamarat. Akibat kejadian ini, Pemerintah Arab Saudi merekontruksi ulang
Jamarat agar jamaah tak perlu berdesakan saat melempar jumrah.
Kembali
pada peristiwa Mina 25 Septeber 2015. Berita yang selalu dikumandangkan
berkaitan hal ini adalah adanya penumpukan jamaah. Bagi penulis,
analisis berita ini memberi saya ruang imajinasi dan memunculkan
pertanyaan. Mengapa bisa terjadi penumpukan? Apa yang terjadi sehingga
mereka berhenti?
Awalnya,
saya hanya menduga alasan sederhana. Mungkin ada jamaah yang tali
sepatunya lepas, lalu terjatuh dan jamaah di belakangnya tersandung,
hingga terjadi saling dorong dan memakan korban. Atau mungkin beberapa
jamaah pingsan, bahkan wafat di barisan depan hingga jamaah lain
tertahan. Begitu seterusnya seperti efek domino hingga memakan korban.
Akan tetapi, beberapa media melansir meninggalnya lebih dari 700 orang
jamaah haji di Mina kali ini dipicu iring-iringan pengamanan seorang
pejabat kerajaan yang menghambat jalan. Berita tersebut sudah dibantah
pemerintah setempat karena mereka juga mempunyai standar pengamanan yang
tidak akan mengganggu jamaah haji.
Terlepas
apa penyebabnya, saya pribadi pernah terjebak dalam situasi unik ketika
umrah, beberapa tahun lalu. Saat sedang bertawaf mengelilingi Ka'bah,
tiba-tiba putaran terhenti, sementara dari arah belakang jamaah tetap
merangsek ke depan. Saya terimpit dan nyaris kehabisan napas. Suara
kepanikan terdengar di mana-mana. Desakan semakin dahsyat hingga
paru-paru kian sulit bernapas.
Dalam
waktu sempit, saya dan sejumlah jamaah memutuskan menunda penyelesaian
tawaf, dan mencari cara keluar dari putaran padat di tengah. Di sekitar
saya wajah-wajah panik, beberapa muslimah sempat terlepas jilbabnya
karena dorongan dan tarikan, bahkan ada yang jatuh pingsan.
Ternyata
arus tawaf terhenti mendadak karena saat itu pintu Ka'bah dibuka,
disertai kehadiran pejabat kerajaan. Syukurlah, jamaah tidak terlalu
membeludak hingga tidak jatuh korban jiwa.Kehadiran tokoh penting yang
lebih sering mengganggu keteraturan umum mengingatkan saya pada
kecelakaan beruntun di jalan tol beberapa tahun lalu, ketika
iring-iringan VVIP yang melesat, memaksa arus kendaraan untuk berhenti
atau menepi tiba-tiba.
Peristiwa
tersebut mengusik saya pada pertanyaan dasar. Bukankah tugas pemimpin
adalah melindungi dan memperhatikan kepentingan umum sebaik-baiknya?
Sadar bahwa kesalahan keputusan dan manajemen bisa menyebabkan bukan
saja ketidaknyamanan rakyat, bahkan kematian.
Mendadak
kerinduan saya tak terbendung akan sosok Rasulullah SAW sebagai
pemimpin. Juga kesederhanaan para Khulafaurrasyidin. Seperti Umar RA
yang datang ke Yerusalem hanya dengan seekor keledai dan ditemani
seorang penuntun jalan. Padahal, puncak kepemimpinan kala itu berada di
genggaman tangannya.[]
Sumber : http://7liputanberita.blogspot.co.id/2015/09/tulisan-asma-nadia-tentang-tragedi-mina.html
0 komentar:
Posting Komentar